Nama : Hani Dwi Apriliani
Kelas : 3PA11
NPM : 14514746
Kel : 2
Pembahasan :
1. Psikoanalisa : Analisis Resistensi
2. Behavioristik : Assertive Training
3. Humanistik : Rational Emotive Therapy
JENIS – JENIS TERAPI
Berikut adalah beberapa jenis terapi berdasarkan aliran dari psikoanalisa, behaviorisme, dan kognitif behavioristik. Banyak jenis terapi yang bisa digunakan berdasarkan aliran-aliran tersebut. Terapi yang termaksud dalam aliran psikoanalisa salah satunya adalah analisis resistensi. Assertive training merupakan salah satu jenis terapi dari aliran behavior. Sedangkan rational emotive therapy (RET) merupakan salah satu jenis terapi berdasarkan aliran kognitif behavioristik. Beberapa terapi tersebut akan dibahas dalam makalah ini.
I. ANALISIS RESISTENSI
A. Definisi Resistensi
Resistance didalam bahasa inggris berasal dari kata resist dan ance adalah menunjukkan pada posisi sebuah sikap yang cenderung untuk berperilaku bertahan, menentang, berusaha melawan, dan upaya oposisi. Dalam kajian psikoterapi, resistensi merupakan strategi pertahanan klien untuk mencegah analisis atau terapis masuk dan memahami permasalahan klien.
Resistensi sebagai suatu konsep fundamental praktek-praktek psikoanalisa yang bekerja melawan kemajuan terapi dan mencegah klien untuk menampilkan hal-hal yang tidak disadari. Sigmund Frued memandang resistensi sebagai suatu dinamika yang tidak disadari yang mendorong seseorang untuk mempertahankan terhadap kecemasan. Resistensi bukan sesuatu yang harus diatasi karena hal itu merupakan gambaran pendekatan pertahanan klien dalam kehidupan sehari-hari. Resistensi harus diakui sebagai alat pertahanan menghadapi kecemasan. Interpretasi konselor terhadap resistensi ditujukan kepada bantuan klien untuk menyadari alasan timbulnya resistensi.
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut (Corey, 1995).
Dalam proses terapi, resistensi bukanlah sesuatu yang harus diatasi, karena merupakan perwujudan dari pertahanan klien yang biasanya dilakukan sehari-hari. Resistensi ini dapat dilihat sebagai sarana untuk bertahan klien terhadap kecemasan, meski sebenarnya menghambat kemampuan untuk menghadapi hidup yang lebih memuaskan (Corey, 1995).
Resistensi adalah semua kekuatan dalam pasien yang menentang prosedur-prosedur dan proses-proses pekerjaan psikoanalitik. Dalam tingkat tertentu, resistensi itu ada dari awal sampai akhir perawatan (Freud, 1912). Resistensi mempertahankan status quo neurosis pasien. Resistensi adalah suatu konsep operasional, bukan sesuatu yang harus diciptakan analisis. Situasi analitik menjadi arena dimana resistensi-resistensi itu mengungkapkan dirinya.
Resistensi adalah pengulangan semua operasi defensif yang telah digunakan pasien dalam kehidupan masa lampaunya. Semua variasi gejala psikis mungkin digunakan untuk tujuan resistensi dan resistensi itu beroperasi melalui ego pasien. Meskipun beberapa aspek dari suatu resistensi mungkin sadar, namun suatu bagian yang penting diadakan oleh ego tak sadar.
A. Tujuan Analisis Resistensi
Analisis dan penafsiran resistensi, ditujukan untuk membantu klien agar menyadari alasan-alasan yang ada dibalik resistensi sehingga dia bisa menanganinya, terapis meminta klien menafsirkan resistensi. Tujuannya adalah mencegah material-material mengancam yang akan memasuki kesadaran klien, dengan cara mencegah klien mengungkapkan hal - hal yang tidak disadarinya. Pada tingkat paling sederhana, resistensi itu melibatkan secara sengaja untuk tidak menaati aturan fundamental. Bahkan, jika tingkat resistensi ini diatasi, resistensi akan menemukan cara - cara ekspresi yang tidak terlalu terang-terangan. Ego klien takut pada potensi ketidaksenangan yang disebabkan karena mengeksplorasi materi yang telah direpresi melalui antikateksisnya dan semakin jauh pula asosiasi klien dari materi tidak sadar yang ingin ditemukan oleh analisis.
B. Teori Analisis Resistensi
Dalam hal ini diuraikan dua hal, yakni hubungan antara resistensi dan pertahanan serta hubungan antara resistensi dan regresi.
1. Resistensi dan Pertahanan
Resistensi menentang prosedur analitik, analisis, dan ego-rasional pasien. Resistensi mempertahankan neurosis, hal yang lama, sudah lazim, dan bersifat kekanak-kanakan supaya tidak diungkapkan dan berubah. Istilah resistensi mengacu pada semua operasi defensif dari perlengkapan mental ketika mereka dibangkitkan dalam situasi analitik.
Pertahanan mengacu pada usaha melindungi diri terhadap bahaya dan rasa sakit serta harus dibedakan dari aktivitas-aktivitas insting yang mencari kenikmatan dan pelepasan. Dalam situasi psikoanalitik, pertahanan memanifestasikan dirinya sebagai resistensi. Freud menggunakan dua istilah tersebut dengan arti yang sama dalam hampir semua tulisannya. Fungsi dari pertahanan pertama-tama adalah fungsi ego, meskipun setiap gejala psikis dapat digunakan untuk tujuan-tujuan defensif.
Pada dasarnya resistensi beroperasi dalam pasien pada ego tak sadarnya, meskipun aspek-aspek tertentu dari resistensinya mudah dicapai oleh ego yang mengamati dan menilai. Kita harus membedakan antara fakta bahwa pasien mengadakan resistensi, bagaimana ia mengadakan resistensi, apa yang dicegahnya, dan mengapa ia mengadakan resistensi (Fenichel, 1941).
Konsep pertahanan mengandung dua unsur pokok, yakni bahaya dan agen untuk melindungi. Konsep resistensi terdiri dari tiga agen, yakni bahaya, kekuatan yang memaksa untuk melindungi ego (irasional), dan kekuatan yang memaksa untuk mengambil risiko, ego pra-adaptif. Kesamaan lain antara pertahanan dan resistensi ialah memiliki hierarki. Konsep pertahanan mengacu pada bermacam-macam aktivitas ego tak sadar, tetapi kita dapat membedakan antara mekanisme-mekanisme pertahanan dalam, tak sadar, otomatis, dan mekanisme-mekanisme pertahanan yang lebih dekat dengan ego sadar. Terdapat juga pemahaman mengenai resistensi. Resistensi meliputi banyak proses, mengenai apakah ia menggunakan proses primer atau proses sekunder dalam menjalankan fungsinya atau apakah ia berusaha mengatur pelepasan insting atau netral.
2. Resistensi dan Regresi
Regresi adalah konsep deskriptif yang berarti kembali pada suatu bentuk aktivitas mental lebih awal dan lebih primitif (Freud, 1916). Orang-orang cenderung kembali ke tempat-tempat berhenti yang telah menjadi tempat-tempat fiksasi pada masa lebih awal. Fiksasi dan regresi merupakan rangkaian yang saling melengkapi, meskipun demikian kita harus diperhatikan bahwa fiksasi adalah suatu konsep perkembangan sedangkan regresi merupakan suatu defensif. Fiksasi-fiksasi disebabkan oleh disposisi yang dibawa sejak lahir, faktor-faktor konstitusional, dan pengalaman-pengalaman yang membentuk suatu rangkaian saling melengkapi. Fiksasi bisa timbul karena (1) adanya harapan yang tidak bisa hilang bahwa orang pada akhirnya memperoleh kepuasan yang dirindukan, dan (2) frustrasi menyebabkan dorongan-dorongan tidak bisa berkembang karena direpresikan.
Regresi dimotivasikan oleh pelarian dari rasa sakit dan bahaya. Regresi bisa terjadi berkenaan dengan hubungan-hubungan objek dan organisasi seksual (Freud, 1916). Regresi mungkin juga dipahami berkenaan dengan topografi, seperti berpindah dari proses sekunder ke proses primer. Gill (1963) berpendapat bahwa regresi juga menyangkut regresi structural, yakni suatu regresi dalm fungsi perceptual ego yang diungkapkan dengan mengubah pikiran-pikiran menjadi gambaran-gambaran visual. Winnicott (1955) mengemukakan bahwa aspek regresi yang sangat penting adalah regresi fungsi-fungsi ego dan hubungan-hubungan objek, terutama regresi kearah narsisisme primer.
Regresi menempati suatu posisi khusus diantara pertahanan-pertahanan, dan rupanya ada sedikit keraguan apakah regresi itu benar-benar tergolong dalam pertahanan-pertahanan (A. Freud, 1936). Akan tetapi, yang tidak dapat diragukan adalah ego benar-benar menggunakan regresi dalam bermacam-macam bentuk untuk tujuan pertahanan dan resistensi. Peran dari ego agak berbeda dalam hal regresi. Pada umumya, kelihatan bahwa ego lebih pasif dibandingkan dengan perannya dalam operasi-operasi defensif yang lain. Sangat sering terjadi regresi digerakkan oleh frustrasi instingtual pada tingkat tertentu, yang memaksa dorongan-dorongan mencari kalan keluar kea rah mundur (Fenichel, 1945). Sekalipun demikian, dalam kondisi-kondisi tertentu ego memiliki kemampuan untuk mengatur regresi, seperti dilakukannya pada waktu tidur, kejenakaan, dan dalam beberapa aktivitas kreatif (Kris, 1950).
Penyebab langsung dari dari resistensi adalah selalu menghindari suatu afek yang menyakitkan, seperti kecemasan, rasa bersalah, atau malu. Di balik motif ini akan ditemukan suatu impuls instingtual yang telah memicu afek yang menyakitkan itu. Pada akhirnya orang akan menemukan bahwa penyebabnya adalah ketakutan terhadap suatu keadaan traumatik yang coba dihindari oleh resistensi (A. Freud, 1936).
A. Ciri Analisis Resistensi
Ciri terapi psikoanalitik adalah menganalisis resistensi dengan teliti dan sistematis, sedangkan tugas psikoanalisis tidak lain adalah mengungkapkan bagaimana pasien menentang, apa yang ditentang, dan mengapa ia menentang.
B. Klasifikasi Analisis Resistensi
Ada banyak cara mengklasifikasikan resistensi-resistensi. Cara praktis yang sangat penting ialah membedakan resistensi ego-syntonic dan ego-alien. Apabila seorang pasien merasa bahwa suatu resistensi asing baginya, maka ia siap mengerjakannya secara analitik. Bila resistensi itu adalah ego-syntonic, ia mungkin menyangkal adanya, meremehkan maknanya, atau merasionalisasikannya. Salah satu langkah awal yang sangat penting dalam menganalisis suatu resistensi adalah memasukkannya ke dalam resistensi ego-alien pasien. Segera setelah ini dicapai, pasien akan membentuk suatu aliansi kerja dengan analis. Ia akan mengidentifikasikan dirinya untuk sementara dan secara parsial dengan analis karena ia rela mengerjakan resistensi-resistensi itu secara analitik.
Bentuk-bentuk psikoterapi lain berusaha menyingkiri atau mengatasi resistensi-resistensi dengan sugesti, menggunakan obat, atau memanfaatkan hubungan transferensi. Dalam terapi-terapi, yang disebut covering up atau supportive therapies, terapis berusaha memperkuat resistensi-resistensi. Ini mungkin perlu bagi pasien-pasien yang mengalami keadaan psikotik.
C. Macam-Macam Resistensi
Freud mengikhtisarkan lima macam resistensi, yaitu:
1. Resistensi represi
2. Resistensi transferensi
3. Resistensi untuk melepaskan keuntungan yang didapat dari keadaan sakitnya
4. Resistensi id, yang mungkin menolak perubahan pada cara pemuasannya dan merasa perlu untuk menelaah medium pemuasan baru
5. Resistensi yang berasal dari superego, rasa bersalah atau kebutuhan akan hukuman yang tidak disadari yang menolak semua kesuksesan melalui analisis. Klien merasa dirinya harus tetap sakit karena mereka tidak pantas untuk membaik. Resistensi ini merupakan jenis resistensi yang paling kuat dan paling ditakutkan oleh analisis.
D. Proses Interpretasi Resistensi
Proses interpretasi resistensi dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:
1. Terapis meminta klien melakukan asosiasi bebas dan analisis mimpi yang dapat menunjukkan kesediaan klien untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman klien.
2. Selanjutnya analisis menanyakan bila terjadi hal yang berbeda dengan apa yang di utarakan, misal klien bercerita dengan penuh semangat namun tiba-tiba sedih.
Sedangkan penampilan klinis resistensi, yaitu:
1. Pasien berdiam diri
2. Pasien tidak ingin bicara
3. Afek-afek yang menunjukkan resistensi
4. Sikap badan pasien
5. Fiksasi pada waktu
6. Masalah sepele atau peristiwa-peristiwa eksternal
7. Menghindari pokok-pokok pembicaraan
8. Rigiditas
9. Bahasa penghindaran
10. Datang terlambat, tidak datang ke jam analitik, lupa membayar
11. Mimpi-mimpi tidak ada
12. Pasien bosan
13. Pasien memiliki suatu rahasia
14. Memerankan (acting out)
15. Jam analitik yang sering menggembirakan
16. Pasien tidak berubah
17. Resistensi diam (silent resistances)
I. ASSERTIVE TRAINING
A. Definisi Perilaku Asertif
Perilaku asertif merupakan terjemahan dari istilah assertiveness atau assertion, yang artinya titik tengah antara perilaku non asertif dan perilaku agresif. Frensterhim dan Baer, mengatakan bahwa orang yang memiliki tingkah laku atau perilaku asertif orang yang berpendapat dari orientasi dari dalam, memiliki kepercayan diri yang baik, dapat mengungkapkan pendapat dan ekspresi yang sebenarnya tanpa rasa takut dan berkomunikasi dengan orang lain secara lancar. Sebaliknya orang yang kurang asertif adalah mereka yang memiliki ciri terlalu mudah mengalah/ lemah, mudah tersinggung, cemas, kurang yakin pada diri sendiri, sukar mengadakan komunikasi dengan orang lain, dan tidak bebas mengemukakan masalah atau hal yang telah dikemukakan.
Nelson dan Jones (2006:184) menjelaskan bahwa perilaku asertif adalah perilaku yang merefleksikan rasa percaya diri dan menghormati diri sendiri dan orang lain. Hal ini sejalan dengan pengertian perilaku asertif yang dikemukakan oleh Alberti dan Emmons, yaitu: Perilaku asertif meningkatkan kesetaraan dalam hubungan sesama manusia, yang memungkinkan kita untuk menunjukkan minat terbaik kita, berdiri sendiri tanpa hatrus merasa cemas, mengeekspresikan perasaan kita dengan jujur dan nyaman, melatih kepribadian kita yang sesungguhnya tanpa menolak kebenaran dari orang lain.
B. Definisi Assertive Training
Assertive training merupakan salah satu teknik dalam terapi behavioral. Menurut Willis (2004:69) terapi behavioral berasal dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan Skinerian dari B.F Skinner. Mula-mula terapi ini dikemabangkan oleh Wolpe untuk menanggulangi neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak adaptif melalui proses belajar. Dengan kata lain perilaku yang menyimpang bersumber dari hasil belajar di lingkungan.
Willis (2004:72) menjelaskan bahwa assertive training merupakan teknik dalam konseling behavioral yang menitikberatkan pada kasus yang mengalami kesulitan dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya. Assertive training adalah suatu teknik untuk membantu klien dalam hal-hal berikut:
1. Tidak dapat menyatakan kemarahan atau kejengkelannya.
2. Mereka yang sopan berlebihan dan membiarkan orang lain mengambil keuntungan padanya.
3. Mereka yang mengalami kesulitan berkata “tidak”.
4. Mereka yang sukar menyatakan cinta dan respon positif lainnya
5. Mereka yang merasakan tidak punya hak untuk menyatakan pendapat dan pikirannya.
Corey (2009:215) menjelaskan bahwa: assertive training (latihan asertif) merupakan penerapan latihan tingkah laku dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya adalah mempraktekkan melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperolah sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketakmemadaiannya dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
Selain itu Gunarsih (2007:217) dalam bukunya Konseling dan Psikoterapi menjelaskan pengertian latihan asertif menurut Alberti yaitu prosedur latihan yang diberikan kepada klien untuk melatih perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi diri dari perasaan, sikap, harapan, pendapat, dan haknya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa assertive training atau latihan asertif adalah prosedur latihan yang diberikan untuk membantu peningkatan kemampuan mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan pada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain.
C. Tujuan Assertive Training
Teknik assertive training dalam pelaksanaannya tentu memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh konselor dan klien. Day (2008:338) menjelaskan bahwa tujuan assertive training membantu klien belajar kemandirian sosial yang diperlukan untuk mengekspresikan diri mereka dengan tepat.
Sedangkan menurut Fauzan (2010) terdapat beberapa tujuan assertive training yaitu
1. Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang lain.
2. Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku seperti apa yang diinginkan atau tidak.
3. Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan hak orang lain.
4. Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya dengan enak dalam berbagai situasi sosial.
5. Menghindari kesalahpahaman dari pihak lawan komunikasi.
D. Tahapan Pelaksanaan Assertive Training
Prosedur dasar dalam pelatihan asertif menyerupai beberapa pendekatan perilaku dalam konseling. Prosedur-prosedur ini mengutamakan tujuan-tujuan spesifik dan kehati-hatian, sebagaimana diuraikan Osipow dalam A Survey of Counseling Methode (1984):
1. Menentukan kesulitan konseli dalam bersikap asertif dengan penggalian data terhadap klien, konselor mengerti dimana ketidakasertifan pada konselinya. Contoh: konseli tidak bisa menolak ajakan temannya untuk bermain voli setiap minggu pagi padahal ia lebih menyukai berenang, hal itu karena konseli sungkan, khawatir temannya marah atau sakit hati sehingga ia selalu menuruti ajakan temannya.
2. Mengidentifikasi perilaku yang diinginkan oleh klien dan harapan-harapannya. Diungkapkan perilaku/sikap yang diinginkan konseli sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi dan harapan-harapan yang diinginkannya.
3. Menentukan perilaku akhir yang diperlukan dan yang tidak diperlukan. Dengan kata lain, konselor dapat menentukan perilaku yang harus dimiliki konseli untuk menyelesaikan masalahnya dan juga mengenali perilaku-perilaku yang tidak diperlukan yang menjadi pendukung ketidakasertifannya. Contoh: Dengan mempelajari secara mendetail kasus yang dialami konselinya, konselor menarik kesimpulan awal bahwa, konseli tidak perlu menuruti terus ajakan temannya yang sebenarnya tidak ia sukai. Perilaku yang ia perlukan adalah menolak dengan jujur, tegas dan sopan ajakan temannya tersebut.
4. Membantu klien untuk membedakan perilaku yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan dalam rangka menyelesaikan masalahnya. Setelah konselor menentukan perilaku yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan, kemudian ia menjelaskannya pada konseli tentang apa yang seharusnya dilakukan dan dihindari dalam rangka menyelesaikan permasalahannya dan memperkuat penjelasannya.
5. Mengungkapkan ide-ide yang tidak rasional, sikap-sikap dan kesalahpahaman yang ada difikiran konseli. Konselor dapat mengungkap ide-ide konseli yang tidak rasional yang menjadi penyebab masalahnya, sikap-sikap dan kesalahpahaman yang mendukung timbulnya masalah tersebut.
6. Menentukan respon-respon asertif/sikap yang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahannya (melalui contoh-contoh).
7. Mengadakan pelatihan perilaku asertif dan mengulang-ulangnya. Konselor memandu konseli untuk mempraktikkan perilaku asertif yang diperlukan, menurut contoh yang diberikan konselor sebelumnya.
8. Melanjutkan latihan perilaku asertif
9. Memberikan tugas kepada konseli secara bertahap untuk melancarkan perilaku asertif yang dimaksud. Untuk kelancaran dan kesuksesan latihan, konselor memberikan tugas kepada konseli untuk berlatih sendiri di rumah ataupun di tempat-tempat lainnya.
10. Memberikan penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan. Penguatan dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa konseli harus dapat bersikap tegas terhadap permintaan orang lain padanya, sehingga orang lain tidak mengambil mafaat dari kita secara bebas. Selain itu yang lebih pokok adalah konseli dapat menerapkan apa yang telah dilatihnya dalam situasi yang nyata.A. Kelebihan dan Kekurangan Assertive Training
Kelebihan pelatihan asertif ini akan tampak pada:
1. Pelaksanaannya yang cukup sederhana,
2. Penerapannya dikombinasikan dengan beberapa pelatihan seperti relaksasi, ketika individu lelah dan jenuh dalam berlatiih, kita dapat melakukan relaksasi supaya menyegarkan individu itu kembali. Pelatihannya juga bisa menerapkan teknik modeling, misalnya konselor mencontohkan sikap asertif langsung dihadapan konseli. Selain itu juga dapat dilaksanakan melalui kursi kosong, misalnya setelah konseli mengangankan tentang apa yang hendak diutarakan, ia langsung mengutarakannya di depan kursi yang seolah-olah dikursi itu ada orang yang dimaksud oleh konseli.
3. Pelatihan ini dapat mengubah perilaku individu secara langsung melalui perasaan dan sikapnya.
4. Disamping dapat dilaksanakan secara perorangan juga dapat dilaksanakan dalam kelompok. Melalui latihan-latihan tersebut individu diharapkan mampu menghilangkan kecemasan-kecemasan yang ada pada dirinya, mampu berfikir relistis terhadap konsekuensi atas keputusan yang diambilnya serta yang paling penting adalah menerapkannya dalam kehidupan ataupun situasi yang nyata.
Kelemahan, pelatihan asertif ini akan tampak pada,
1. Meskipun sederhana namun membutuhkan waktu yang tidak sedikit, ini juga tergantung dari kemampuan individu itu sendiri
2. Bagi konselor yang kurang dapat mengkombinasikannya dengan teknik lainnya, pelatihan asertif ini kurang dapat berjalan dengan baik atau bahkan akan membuat jenuh dan bosan konseli/peserta, atau juga membutuhkan waktu yang cukup lama.
III. RATIONAL EMOTIVE THERAPY
A. Definisi Rational Emotive Therapy
Rational Emotive Therapy dideskripsikan sebagai corak konseling yag menekankan kebersamaan dan interaksi antar berpikir dengan akal sehat (Rational thinking), berperasaan (emoting), dan berperilaku (acting), serta menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir sehingga menghasilkan perubahan yang berarti dari cara berperasaan dan berperilaku. Jadi, orang yang mengalami gangguan dalam hal perasaannya harus dibantu untuk meninjau kembali bagaimana caranya berpikir dan memanfaatkan akal sehat. Penemu corak konseling Rational-Emotive Therapy adalah Abert Ellise pada tahun 1955, yang telah menerbitkan banyak karangan dan buku. Antara lain buku yang berjudul Reason and Emotion in Psychotherapy (1992), A New Guide To Rational Living (1975), serta karangan yang berjudul The Rational-Emotive Approach To Counseling dalam buku Burks Theories Of Counseling (1979).
Menurut pengakuan Albert, corak konseling rational-emotive therapy (RET) berasal dari aliran pendekatan kognitif behavioristik. Awalnya terapi ini bernama terapi rasional, namun karena banyak memperoleh anggapan keliru bahwa mengeksplorasi emosi-emosi klien tidak begitu penting bagi Ellis. Sehingga pada tahun 1961 dia mengubah namanya menjadi terapi rasional emotif. Ellis menggabungkan terapi humanistik, filosofis, dan behavioral menjadi terapi rasional emotif (TRE). TRE banyak kesamaan dengan dengan terapi yang berorientasi pada kognisi, perilaku dan perbuatan dimana TRE menekankan pada berpikir, memikirkan, mengambil keputusan, menganalisis dan berbuat. TRE didasarkan pada asumsi bahwa kognisi, emosi, dan perilaku berinteraksi secara signifikan dan memiliki hubungan sebab akibat timbal balik.
A. Tujuan dan Sasaran Rational Emotive Therapy
Rational Emotive Therapy mempunyai tujuan membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan logis sebagai penggantinya. Menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan emosional yang dialami oleh mereka.
Sasaran dari terapi ini adalah untuk menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang raisonal sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dogmatis yang irasional dan takhayul yang berasal dari orang tua maupun kebudayaan.
B. Langkah-Langkah Rational Emotive Therapy
Ada empat langkah dalam rational emotive therapy, yaitu:
1. Langkah Pertama
Menunjukkan kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irrasionalnya, menunjukkan bagaimana klien mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikapnya, dan menunjukkan secara kognitif bahwa klien telah memasukkan banyak keyakinan irrasional, klien harus belajar memisahkan keyakinan-keyakinan yang rasional dari keyakinan irrasionalnya dan mencapai kesadaran. Terapis akan mendorong, membujuk, dan suatu saat memerintah klien agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan bertindak sebagai agen propaganda.
2. Langkah Kedua
Membawa klien ke seberang tahap kesadaran, dengan menunjukkan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus menerus berfikir tidak logis, kemudian mengakuinya. Untuk melangkah ke pengakuan klien atas pikiran pikiran irrasionalnya, dibutuhkan langkah selanjutnya.
3. Langkah Ketiga
Berusaha agar klien memperbaiki pikiran-pikirannya dan meninggalkan gagasan-gagasan irrasionalnya, terapis membantu klien untuk memahami hubungan antara gagasan-gagasan yang mengalahkan diri dan filsafat yang tidak realistis.
4. Langkah Keempat
Menantang klien untuk mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang rasional sehingga dia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinan irasional.
Sedangkan Ellis (1973) memberikan suatu gambaran tentang apa yang dilakukan oleh terapis yang melakukan Rational Emotive Therapy, yaitu:
1. Mengajak klien untuk berfikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku;
2. Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasanyya;
3. Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya;
4. Menggunakan suatu analisi logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien;
5. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan akan mengakibatkan gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan.
6. Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi rasionalitas pikiran klien
7. Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris; dan
8. Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pad acara berfikir sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan yang tidak logis.
C. Karakteristik Proses Rational Emotive Therapy
Ada empat karakteristik dalam proses konseling rasional-emotif, yaitu:
1. Aktif-direktif
Dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
2. Kognitif-eksperiensial
Hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
3. Emotif-ekspreriensial
Hubungan konseling yang dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
4. Behavioristik
Hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.
D. Teknik Rational Emotive Therapy
Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah sebagai berikut.
1. Teknik-Teknik Emotif (Afektif)
a. Assertive adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
b. Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
c. Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
2. Teknik-Teknik Behavioristik
a. Reinforcement
Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
b. Social modeling
Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
3. Teknik-Teknik Kognitif
a. Homework assignments,
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan.
Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan homework assignment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor.
Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
b. Latihan assertive
Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial. Maksud utama teknik latihan asertif adalah:
1) Mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya.
2) Membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain.
3) Mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri.
4) Meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk diri sendiri.
A. Efektivitas Rational Emotive Therapy
1. Kelebihan Rational Emotive Therapy
a. Pendekatan ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan demikian, perawatan juga dapat dilakukan dengan cepat.
b. Berfikir logis yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi masalah yang lain.
c. Klien merasa dirinya mempunyai keupayaan intelektual dan kemajuan dari cara berfikir.
d. Para konseli bisa memperoleh sejumlah besar pemahaman dan akan menjadi sangat sadar akan sifat masalahnya.
e. Menekankan pada peletakan pemahaman yang baru di peroleh ke dalam tindakan yang memungkinan pada konseli mempraktekkan tingkah laku baru dan membantu mereka dalam pengkondisian ulang
2. Kelemahan Rational Emotive Therapy
a. Ada klien yang boleh ditolong melalui analisa logis dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu cerdas otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika.
b. Ada sebagian klien yang begitu terpisah dari realitas sehingga usaha untuk membawanya ke alam nyata sukar sekali dicapai.
c. Ada juga sebagian klien yang memang suka mengalami gangguan emosi dan bergantung kepadanya dalam hidupnya, dan tidak mau berbuat apa-apa perubahan lagi dalam hidup mereka
d. Terapis yang tidak terlatih memandang terapi sebagai “pencecaran” konseli dengan persuasi, indoktrinasi logika dan nasehat.
DAFTAR PUSTAKA
Corey Gerald. (1988). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT Eresco.
Dwi Riyanti, B. P. & Prabowo, H. (1998). Psikologi umum 2. Jakarta: Universitas Gunadarma.
Nelson-Jones, Richard. (2006). Teori dan praktik konseling dan terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semiun, Y. (2006). Teori kepribadian dan terapi psikoanalitik reud. Yogyakarta: Kanisius.